Simple Man dan Saya

img_20190907_154903

Beberapa hari ke belakang sebelum akhirnya saya mendapatkan link kisah horor tentang KKN di Desa Penari, saya mendengar bahwa kisah tersebut tengah viral di dunia maya. Meski demikian, saya belum begitu tertarik untuk menelusuri detil kisahnya, terlebih kisah horor atau mistis. Saya termasuk dari sedikit golongan yang mungkin bisa dikatakan ‘lola’ dalam merespons segala informasi yang booming atau viral. Haha… Iya, serius.

Hanya secara kebetulan, kemarin saya menemukan link tersebut di wag. Barulah rasa penasaran, sebenarnya bukan juga. Hanya ingin tahu saja, apa sih yang membuat cerita tersebut menjadi trending topic beberapa hari ini?

Pagi setelah selesai ritual shubuh, saya coba buka link-nya. Saya melihat di sana tertulis nama ‘simple man’ sebagai penuturnya, dengan poto profil lelaki bule dewasa berkepala separuh botak di bagian atas dengan sisa-sisa rambut di bagian samping kanan-kirinya. Kacamata bening dikenakannya. Menurut saya, cukup mewakili Β namanya.

Saya membaca cerita yang ditulisnya sambil mempersiapkan dan mengerjakan ini-itu. Sebuah rutinitas pagi sebelum berangkat kerja. Diawali dengan alasan penulis menuturkan kisah dan memilih nama samaran untuk tokoh dan tempat kejadian. Pemilihan nama “Desa Penari” sungguh sangat menggelitik rasa penasaran.

Paragraf demi paragraf telah terbaca. Saya semakin terhanyut dengan gaya bertutur penulis. Seolah sungguh nyata, saya benar-benar merasakan dan menyaksikan situasi yang dikisahkan. Bahkan saat ke kamar mandi untuk mandi pun saya membawa gawai untuk melanjutkan membaca kisahnya. Wkwkwk… Asli. Segitunya banget yak! Sampai sepanjang perjalanan ke tempat kerja pun, saya masih terus membacanya. Saya tak ingin kisahnya terputus. Saya ingin menuntaskannya.

Jujur, saya justeru terkagum-kagum dengan cara bagaimana penulis menuturkan kisah dengan begitu detil suasana, ekspresi, jiwa dari setiap adegan yang disuguhkan. Bukan suatu hal yang mudah untuk membawa jiwa pembaca masuk dalam sebuah kisah yang hanya dituangkan dalam sebuah tulisan, tanpa audio visual.

Saya dapat merasakan gelapnya malam yang menakutkan, tatapan penari yang membuat merinding, membayangkan sebuah kidung yang menyimpan aroma mistis hingga amisnya lendir dan darah monyet yang dalam penglihatan mata kasar sebagai sajian kue kampung. Saya juga dapat merasakan ketika motor yang dikendarai Wahyu dan Widya mogok di tengah hutan nan mulai gelap. Ketika Widya terseok penuh ketakutan bercampur penasaran mengikuti Bimo tengah malam.

Terlepas dari benar tidaknya kisah yang dituturkan, saya mengagumi kemampuan Simple Man sebagai penuturnya yang mampu menghipnotis pembaca (saya) ketika membacanya. Benar-benar terbawa suasana. Entah mungkin bagi pembaca yang lain.

Sepertinya, akan ada produser yang menggandengnya dan menjadikan kisahnya untuk divisualkan dalam sebuah tampilan film layar lebar.

Diterbitkan oleh Isti

simple, introvert, cuek, praktis, ransel, getuk lindri, hujan, hening, sendal jepit, sepatu teplek, membaca, menulis

Satu pendapat untuk β€œSimple Man dan Saya”

Tinggalkan komentar