Tweet Lulusan Cumlaude Menohok Sang Guru

IMG_20191111_104828

Sebuah tweet trending topic di media sosial tentang ikrar seorang lelaki muda yang meluapkan rasa gembiranya karena lulus sebagai sarjana dengan predikat cumlaude. Yang menarik bahwa tweet tersebut ia dedikasikan untuk guru BK-nya. Bunyi tweet-nya sangat santun namun menohok.

Ternyata kelulusannya bukan menjadi satu-satunya alasan kegembiraan yang ingin ia sampaikan ke publik. Ada cerita pilu di balik kesuksesannya meraih nilai cumlaude. Melalui tweet yang ia sematkan dalam foto kelulusannya, ia seolah tengah membuktikan kepada dunia tentang rasa sakit yang selama ini ia tanggung terbayar sudah dengan pencapaian yang ia raih saat ini. Ia ingin menunjukkan kemampuannya menjungkirbalikkan stigma dan persepsi negatif dari seorang guru BK-nya yang mengatakan bahwa ia tak akan mungkin lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri. 

Saya dapat membayangkan betapa rasa puas bangganya berkali lipat, mungkin melebihi rasa puas kelulusannya dengan nilai cumlaude. Sebuah pembuktian bahwa ia telah menang. 

Kerap kali saya memberikan motivasi kepada para remaja yang merasa menjadi korban bullying baik secara fisik dan verbal yang seringnya lebih menyakitkan. Salah satu kata motivasi yang saya berikan adalah 

“buktikan kalau kamu tidak layak menerima bully dengan potensi yang kamu miliki. Temukan dan kembangkan lalu tunjukkan pada dunia sebab sebaik-baik balas dendam adalah kesuksesan.” 

Biasanya kalimat ini cukup mumpuni meredam luka hati dan membangkitkan rasa percaya diri mereka. Bahwa mereka memang layak dihargai.

Balas dendam, bagaimanapun bukan sesuatu yang dianjurkan. Kesuksesan menjadi sebuah pengalih fokus bagi korban bullying alih-alih merasa tertekan dan mengabaikan potensi diri. Setidaknya, korban bullying dapat melihat sisi positif yang dimilikinya yang mungkin selama ini tersembunyi atau tidak disadari. 

Kesuksesan menjadi penawar dari sejuta bully yang diterima di masa lalu. Mesti juga diakui, suka atau tidak bahwa rentetan bully yang diterima tertanam di alam bawah sadar dan bagi sebagian orang melahirkan energi baru untuk memberikan pembuktian kesalahan persepsi dan perlakuan orang-orang terhadapnya. 

Bagi sebagian lainnya, memori buruk itu terus mengendap di alam bawah sadarnya dan terus mengerdilkan potensi dirinya sehingga tidak sanggup untuk berkembang. 

Pemilik tweet di atas patut bersyukur, diakui atau tidak ia menjadi bagian yang mampu menjadikan sebuah stigma negatif guru BK melemparkannya menuju tangga kesuksesan, minimal kini ia telah menjadi seorang sarjana dengan predikat cumlaude. Kesuksesannya sebenarnya sudah cukup menjadi bukti bahwa ia menang tanpa harus mengungkap kegagalan guru BK memahami dirinya.

Saya tidak membenarkan ucapan guru BK seperti yang disampaikan pemilik tweet kepadanya sebab meskipun ada kemungkinan menjadi pemantik semangat penerima ucapannya, namun ada cara yang lebih baik yakni dengan mendoakan mereka yang dalam kacamata guru sebagai anak-anak nakal. Saya bahkan kerap mengelus kepala  atau pundak para remaja nakal dengan doa kebaikan yang mereka aminkan. Entah jadi apa mereka kelak, minimal mereka tahu bahwa kita tetap mengharapkan kebaikan atas mereka. 

Namun saya juga kurang sreg dengan isi tweet yang trending tersebut, meski tampak santun namun dengan menyebutkan secara gamblang nama guru BK dengan stigma buruknya, seolah-olah tengah mempermalukannya. Sebab tweet tersebut memunculkan persepsi negatif tentang Bu Titiek. Akan berbeda jika pemilik tweet tidak menyebutkan sebuah nama.

Bagaimanapun, tidak ada sosok guru yang sempurna. Bahkan guru yang profesional kini kerap tidak disukai anak didiknya karena ada kesenjangan pola pikir yang begitu menganga antara keduanya. Setidaksuka apapun seorang murid terhadap gurunya, tak layak ia mempermalukannya di depan khalayak. Sekeras apapun seorang guru, tak ada yang mengharapkan anak didiknya gagal dalam hidupnya. 

Guru akan selalu senang mengetahui muridnya jauh lebih sukses dari dirinya. Maka kepada pemilik tweet yang lulus cumlaude, apa hebatnya jika minus penghormatan dengan mempermalukan gurunya kepada khalayak.

Kebencian Hanum

IMG_20191013_104330

Penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang Banten beberapa hari yang lalu memunculkan beragam komentar warganet di media sosial. Selain ungkapan prihatin atas apa yang terjadi , yang umum disampaikan bila terjadi musibah, komentar nyinyirpun berseliweran di medsos. Ini tentu aneh. Masyarakat yang sakit ataukah situasi yang memang sudah sedemikian rusak sehingga mengikis habis empati sosial.

Lagi-lagi Hanum Rais, seorang puteri Amin Rais penggagas Reformasi yang keduanya selalu menyerang pemerintahan Jokowi dengan serta merta mecuitkan sinisme atas apa yang terjadi pada Wiranto. Dalam cuitannya menyatakan bahwa sudah dapat diduga penusukan Wiranto adalah bagian dari settingan. Respons secepat kilat ketika dia dengan amarah ‘seorang ibu’ dan ‘seorang dokter’ mengabarkan pengeroyokan brutal atas Ratna Sarumpaet yang notabene satu pilihan politik dengannya sebagai intimidasi dari lawan politiknya. Dengan yakin seyakin cuitannya kali ini.

Ia akhirnya malu sendiri ketika ‘analisa ilmu kedokterannya’ dimentahkan oleh pengakuan kebohongan oleh Ratna Sarumpaet sendiri. Meski Hanum tetap berkilah untuk menutupi rasa malunya.

Sepertinya Hanum tak belajar dari masalah sebelumnya. Hanum selalu saja tergesa-gesa menyimpulkan sebuah peristiwa. Setergesa ia menghapus cuitannya. Meski ia tahu bahwa jejak digital merekam semuanya. ‘kehapus’ sebuah apologi amatir dari seorang Hanum yang katanya intelek.

Boleh jadi Hanum memang pintar secara akademik. Namun emosinya sangat tidak stabil. Kecerdasan emosinya memprihatinkan. Ia begitu reaktif dalam menanggapi masalah yang bersebrangan dengan pilihan dan pandangan politiknya. Kebencian Hanum begitu menguasi hati dan pikirannya, sehingga akal sehatnya tenggelam. Jemarinya lebih atraktif dari otaknya untuk segera melepaskan letupan emosi dan narasi negatif.

Hanum tak selayaknya seorang perempuan dan ibu yang dekat dengan empati. Dulu, ketika ia dalam cuitannya mengaku begitu terluka hati dan sisi kemanusiaannya atas apa yang menimpa Ratna Sarumpaet, sejatinya bukan sebuah empati namun sebuah provokasi untuk menggiring dan membangun opini publik menyerang lawan politiknya.

Publik termasuk Hanum mungkin sudah terlalu muak dengan segala drama para pejabat publik. Hingga empati terkikis bahkan musibah atas mereka disyukuri. Namun, khusus untuk Hanum sebagai bagian dari pejabat publik, drama Anda juga memuakkan. Empati (terselubung kebencian akut) hanya berlaku untuk kawan politik Anda.

Ketika musibah itu menimpa diri Anda dan orang yang kau cintai, disebut sebagai settingan Anda mungkin akan menyebut mereka tidak waras. Maka bercerminlah. Jikapun kebencianmu telah mencapai ubun-ubun, tahanlah. Jika memang apa yang menimpa Wiranto sebagai sebuah settingan, setidaknya tunjukkan bahwa dirimu itu cerdas dengan tak memberikan opini yang akhirnya kau hapus sendiri namun kau masih berkilah ‘kehapus’. Dan segitulah kwalitas seorang Hanum yang katanya intelek.

 

Les Dua Ribu Rupiah

Hari ini saya mendengarkan sebuah kisah yang cukup miris bagi saya, entah bagi orang lain.

Cerita bermula ketika saya melihat rekan saya asyik menelengkan telinga menempel di gawainya. Terdengar suara merdu seorang anak kecil berkerudung (layar depan kamera menghadap ke luar jadi saya tahu) menyanyikan lagu tentang perjuangan dan jasa seorang guru.

Ketika saya bertanya siapakah yang menyanyikannya? Ia mulai bercerita bahwa lagu tersebut dikirim oleh guru les baca puterinya dan beberapa temannya yang masih kelas 1 SD. Menurutnya, kiriman lagu tersebut sebagai bentuk kekecewaan guru atas sikap para orang tua siswa yang les baca padanya. Ini baru dugaannya saja tapi menurutnya dugaan kuat.

Pasalnya, sudah 2 bulan les baca para orang tua membayar biaya les hanya 2 ribu rupiah per pertemuan. Uang 2 ribu saat ini untuk membeli nasi putih saja tidak cukup. Dalam seminggu, les dilaksanakan 1x jadi dalam 1 bulan ada 4x pertemuan. Maka setiap anak membayar 8 ribu rupiah untuk 1 bulan. Sementara anak yang ada sekira 22 orang. Saya mendengarnya syok. Ya Tuhan tidak ada penghargaan banget nih orang tua terhadap ilmu.

Bagaimana dengan rekan saya yang bercerita? Berdasarkan pengalaman sebelumnya di lembaga les, ia membayar biaya les sesuai tarif dan itu pula yang dia bayar ke guru les baca. Maka ia juga kaget ketika ia dinyinyiri oleh emak-emak bocah saat ia menyebutkan nilai rupiah yang diberikan ke guru les.

Ceritanya, rekan saya ini ditawari gabung untuk iuran membayar uang les. Sebelumnya tidak ada kesepakatan untuk iuran bareng maka ia bayar sendiri. Ketika ditanya ‘berapa’ dan dijawab ‘sekian’ mereka protes dan bilang, kegedean bayar segitu mah’ ditambah lagi rekan saya memberikan buah tangan sebagai pelengkap.

Saya trenyuh mendengarnya. Ketika ilmu tidak dihargai. Kalau saya akan mengukur diri, bagaimana susahnya mengajari anak membaca. Syukur alhamdulillah ada guru yang mau meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengajari mereka membaca, yang mungkin sebenarnya ia lelah dan harusnya istirahat.

Dulu saya pernah mengajar les ketika masih ngampus. Dengan insentif lumayan. Ketika mengajar les di rumahpun, saya dibayar meski tidak besar tapi sungguh amat jauh lah dengan yang 8 ribu per bulan. bahkan beberapa kali saya tolak karena itung-itung membantu tetangga sendiri. Namun ketika tenaga guru les dihargai sedemikian murah?

Padahal menurut rekan saya, mereka para emak itu memberi uang jajan anaknya saja sekira 15 ribu rupiah per hari.  Mungkin, teori kebutuhan Maslow berlaku. Di mana setiap orang memiliki tingkat dan nilai kebutuhan yang berbeda. Bagi sebagian orang, ilmu dipandang sebagai sebuah kebutuhan dan memiliki nilai yang tinggi. Sementara bagi sebagian orang lain, kebutuhan utama mereka adalah pangan dan sandang. Hal ini dipengaruhi oleh nilai yang dianut dan pengaruh lingkungan sekitar.

Jangan sampai kita menghargai murah tenaga orang lain.

Topeng Manunggaling Gusti

IMG_20191004_143222.jpg

Sang juri tengah memberikan komentar dan contoh Tarian Topeng sesuai Pakem (dok.pri)

Siang tadi saya kebagian jaga stand komunitas di acara book fair. Maka sebelum jam pulang kerja, saya ijin ke pimpinan untuk pulang lebih awal. Meski nanti harus balik lagi untuk finger print.  Nggak papa, deket ini tempatnya.

Saya beli cemilan untuk teman-teman lain yang jaga stand. Belum sempat makan, lagipula saya tidak enak hati kalau harus telat untuk pergantian shift. Setibanya di stand, ternyata kosong. Tidak ada sesiapa di sana. Yo wes, camilan dimakan bareng sama panitia penyelenggara.

Suasana book fair indoor ini saya amati lumayan sepi. Hanya beberapa peserta lomba tari topeng dengan para pengantarnya. Menurut panitia, ramainya saat pagi hari. Beberapa sekolah membawa siswanya berkunjung.

Tak lama kemudian, lomba tari topeng dimulai. Posisi stand yang persis banget di samping panggung membuat telinga saya pekak oleh suara musik yang diputar dari CD dengan sound menghentak. Sebuah instrumen musik khas Cirebon berulang-ulang mengiringi penari topeng. Kelebihannya, saya dapat dengan jelas melihat para peserta menari.

Saya tak begitu menyukai tarian, entah tradisional atau modern. Bagi saya yang awam ini, apa nilai plusnya? Terutama untuk tarian topeng ini saya bingung apanya yang akan dinilai? Gerakan semua peserta, setelah saya amati sama saja. Bete saya melihatnya. Monoton, boring. Saya menunggu sesuatu yang lain.

Ketika dipanggil sebuah nama untuk tampil, saya melihat suatu gerakan yang berbeda. Nah! Ada juga yang beda. Saya berseru dalam hati. Tapi nggak lama.. bosen juga. Haha..  Dan ketika penampilan yang beda dari lainnya itu berakhir. Seorang juri memintanya untuk tetap tinggal di panggung. Ada apakah? Saya dan mungkin penonton lain bertanya-tanya.

Sang juri mengajukan sebuah pertanyaan. Dari manakah ia belajar gerakan tari topeng yang barusan dimainkannya? Si penari, seorang bocah SMP yang imut menjawab santai. “Dari youtube” yang rupanya sesuai dengan prediksi juri. Mulailah sang juri memberikan kritikan bahwa ia sombong, tidak mau menghargai karya agung. Belajarlah dari gurunya langsung, bukan dari youtube dengan modifikasi serampangan. Menurut juri, tari topeng yang ditampilkannya tidak jelas kiblatnya. Campur aduk dan itu kesalahan fatal! Tarian yang bagus, lanjutnya, bukan pada gerak yang keren dan over tapi pada bagaimana penari memahami pakem-pakem yang ada.

Menurutnya pula, makna topeng dalam tarian ini tidak dipahami dengan baik. Penari memerlakukan topeng demikian rendah. Padahal, topeng adalah wajah kita. Topeng digunakan untuk sebuah ritual diri dengan Tuhan dan semesta. Manunggaling Gusti. Untuk itu semestinya seorang guru tari yang baik akan menjelaskan terlebih dahulu filosofi dan sejarah tarian sehingga penari mampu menghayati setiap gerak tarian.

Tak hanya di situ, juri lain juga mengomentari tak kalah pedas. Menurutnya, tak harus menghentak dan overacting dalam menarikan tari topeng. Jangan pula mencampuradukkan dengan gaya jaipongan. Sangat berbeda. Tari topeng adalah gerak kecil dari sendi-sendi. Maka gerakannya banyak menggunakan sendi. Berbeda dengan jaipong yang lebuh luas dan luwes gerakannya.

Saya terkesima. Wow! Ternyata filosofi tari topeng sedemikian menarik. Bahkan memiliki pakemnya tersendiri. Tari topeng Losarang berbeda dengan Cirebon dan Indramayu.

Satu sentilan lagi dari juri ketiga. Sejak awal, ia sudah meminta panitia untuk meletakkan meja di atas panggung. Ternyata tidak dimanfaatkan oleh satupun penari. Akhirnya meja kembali diturunkan. Menurutnya, meja tersebut ditujukan untuk para penari meletakkan topengnya sebelum dikenakan ketika menari. Sebab topeng sejatinya adalah wajah kita yang tidak selayaknya diletakkan dan diperlakukan secara sembarangan.

Saya yang tidak pernah tertarik dengan tarian topeng namun setelah mengetahui detil filosofi dari gerak dan simbolnya menjadi lebih terbuka dan merasa bersyukur bahwa kita masih memiliki mereka yang mau melestarikan budaya dan tradisi.

 

Eksis dengan Menjual Aib

Sedih sekaligus geram menyaksikan hampir semua  stasiun televisi berlomba-lomba mengundang pemilik sensasi hanya demi sebuah rating. Beberapa trending topic di lini masa media sosial adalah berita senasasional dari mereka yang merasa artis tapi nggak punya karya namun butuh eksistensi dan ingin terkenal dengan instan. Mereka ingin bertahan dalam keglamouran semu dunia selebritis.

 

Kenapakah gerangan? Mereka seolah tak lagi memiliki rasa malu. Mereka menjual aib demi popularitas. Berapa banyak mereka yang pengen ngartis, makan dan hidup dari menjual sensasi dan aib. Anehnya laku!

Umumnya ketika seseorang melakukan sebuah kesalahan atau tindakan di luar norma-norma yang berlaku di masyarakat, ia akan merasa malu. Rasa malu ini merupakan mosi moral atau sosial yang mendorong orang untuk menyembunyikan atau menyangkal kesalahan mereka. 

Saya melihat peran media sangat besar dalam mengikis rasa malu seseorang. Saya tidak habis pikir ketika stasiun televisi mengundang mereka yang sensasional karena aibnya. Mereka berseliweran berhari-hari dari satu stasiun tivi ke stasiun tivi lainnya, dengan bangganya membahas aibnya. 

Ketika Vanessa Angel yang terlibat prostitusi, selepas dari penjara malah kebanjiran job. Diundang sana-sini hingga ia semakin menjadi-jadi. Ketika pedangdut Duo Semangka yang bangga mengekspose buah dadanya yang overweight menjadi jualannya. Ketika Lucinta Luna tak habis-habisnya membohongi publik dan anehnya publik suka, dengan kehaluannya.Yang sedang trending saat ini adalah sensasi Bebby Fey yang telah mati rasa malunya mengumbar perzinahannya dengan seorang youtuber terkenal. Seolah mereka adalah komoditas unggulan demi meraup rating dan pundi-pundi uang. Simbiosis mutualisme semu. 

Berbalut tujuan “klarifikasi” dan “menginspirasi” mereka semakin tenggelam dalam ketelanjangan. Mungkin bagi mereka standar malu semakin mengabur. “Apa yang membuat saya malu? Saya tidak merugika orang lain” adalah sebuah jawaban klise yang kerap menjadi senjata. 

Mungkin hanya di negeri ini, kehaluan diapresiasi sedemikian rupa, aib dijadikan komoditas, pelaku amoral diberikan ruang publik sedemikian luas. Sikap permisif lingkungan sekitar juga memperburuk keadaan. Kita kadang merasa tak perlu ikut campur dengan urusan orang lain. Aib mereka bukan urusan saya.

Respons sarkastik bagi mereka yang mencoba peduli menjadi salah satu penyebab sikap permisif. Label fanatik, sok suci kerap disematkan pada mereka. Saat ini standar baik menjadi begitu bias dan individualis. Selagi tidak merugikan orang lain, apa urusanmu?

Stres Mengintai Si Sensi Akut

Pernahkah kamu mendengar orang lain mengataimu “terlalu sensi”, bahasa gaul sekarang “baper” atau beda makna yak? padahal sebelumnya mereka mengenal kita sebagai orang sebaliknya? Rasanya gimanaaaa gitu. Mikir jadinya, apa iya aku jadi baper dan sesensitif itu?

Bagaimana sih orang sensitif itu?

Orang sensitif biasanya memiliki kepekaan dan empati lebih dibanding orang lain. Memiliki sensitifitas pemrosesan terhadap sensorik. Kesannya kan jelek banget yak kalau dibilang baper atau sensi. Memang biasanya mereka ini mudah tersinggung atau bereaksi berlebihan terhadap stressor di kehidupan sehari-hari. Tapi sebenarnya tidak selalu negatif juga. Salah satu contohnya ya empati itu tadi.

Seberapa sensitifnya kamu?

Pasangan psikolog Elaine dan Arthur Aron menemukan sekitar 15-20% orang-orang yang memiliki sensitifitas tinggi. Artinya, populasi ini tidak bisa dikatakan sedikit. Lalu, memangnya masalah ya dengan angka tersebut? Untuk itu kita lihat dulu apa saja yang ada dalam diri si sensi ini.

Sebelumnya, saya mengikrarkan diri kalau saya  cenderung sensi juga tapi normal laaaah. Bukan sensi negatif sih, tapi lebih ke peka dan mudah berempati.

Saya dan kamu yang memiliki sensitifitas tinggi umumnya ditandai dengan ciri sebagai berikut nih…

Nggak tahan berisik, lampu terang, dan pakaian yang nggak nyaman (saya bingit);

Merasa perlu menghindari film kekerasan atau acara tv karena merasa terlalu intens dan membuat nggak tenang/nyaman;

Merasa memerlukan down time/rehat bukan hanya sebagai waktu jeda tetapi sebagai kebutuhan. Membutuhkan ruang yang gelap dan sunyi. Huffttt;

Mudah tersentuh keindahan baik diekspresikan lewat seni atau semangat kemanusiaan. Bahkan iklan aja bisa menyentuh banget atau dikritisi mendalam. Hahaaaa.. ini saya banget!;

Memiliki kehidupan batin yang kaya dan kompleks, pemikiran yang mendalam bahkan kadang yang orang lain tidak memikirkannya. Terlalu futuristic. Hihi

Lalu, laluuuu… Kenapa si sensi ini rentan stres?

Iya laaah. Gimana gak stres ketika si sensi harus sekamar dengan orang yang gak bisa tidur dengan lampu padam? Belajar bareng dengan orang yang gak bisa nggak harus diiringi musik. Dibawa ke keramaian yang membuatnya merasa terpenjara dalam kebisingan? Ini contoh kecil saja yang jujur, saya alami. Makanya kalau ada acara bareng dan harus nginep, saya selalu bawa penutup mata. Meski tetep kadang gak bisa tidur juga karena yang lain suka ngobrol sampai tengah malam. Dududu… Stresssss! Sampai saya harus mengeluarkan teori; “teman-teman, tidur itu sebaiknya dalam keadaan gelap, biar otak istirahat. Blablabla…” Dan seringnya sih berhasil. Hahaaa. Apakah komunitas lampu terang yang berbalik menjadi stres? Hihi kayaknya nggak deh.. penikmat lampu terang sepertinya lebih fleksibel dan menikmati hidup. Hehe

Dalam berinteraksipun, orang sensi ini lebih banyak mengalami stres sosial. Si sensi dengan pikirannya yang mendalam lebih terbebani ketika dihadapkan dalam sebuah konflik. Terlebih ketika orang lain merasa bahwa itu bukan konflik berarti. Dan ia akan memikirkannya terus-menerus. Menyebalkan bukan? Makanya jangan terlalu sensi…

Selain itu, ada beberapa hal pemicu yang membuat si sensi mudah terpapar stres. Padahal bagi orang lain mah enggak.

Jadwal yang padat

Dalam pekerjaan, saya diserahi beberapa tanggung jawab. Seringkali juga ditunjuk sebagai ini-itu. Entahlah! Mungkin saya orangnya mauan dan nggak bisa menolak. Jadi kerjaan saya seabreg. Selain itu, saya juga terlibat dalam komunitas sosial di luar pekerjaan yang cukup menguras tenaga dan waktu. Kadang merasa lelah dan pengen mundur. Itupun sudah saya sampaikan kepada pimpinan dan forum komunitas, namun ditolak mentah-mentah guyssss!

Hmmm. Bagi sebagian orang, mungkin sangat menikmati berada dalam ritme kesibukan yang padat. Tidak demikian bagi si sensi. Ia akan merasa terjebak, kewalahan dan tertekan. Akhirnya stres deeeeh. Kerja nggak maksimal. Beberapa tugas mungkin terbengkalai karena tidak terbiasa multitasking.

Harapan orang lain

Baru-baru ini saya pernah berkonflik dengan pimpinan karena saya menolak diajukan dalam kompetisi prestasi.

Pimpinan memanggil saya dan meminta maaf jika penunjukkannya tidak bisa ditolak bahkan berkeras dengan mengatakan “ini saya yang menunjuk!” (Lo harus patuh pada perintah pimpinan-makna tersiratnya begitu). Menurutnya, ia ingin potensi saya dilihat orang, dikembangkan. Bukan semata-mata asal menunjuk. Jujur, sebelum pimpinan mengatakan hal inipun, saya memahami maksud penunjukan tersebut. Hanya ego saya mengatakan, “kenapa harus saya, bukankah ada orang lain yang lebih relevan? Ego saya yang lain mengatakan dan saya sampaikan langsung ke pimpinan; saya tidak berminat untuk mengikuti segala bentuk publikasi dan kompetisi terbuka. Sebesar apapun reward-nya. Itu saya sampaikan bukan hanya ke pimpinan namun juga ke pengawas yang diminta pimpinan membujuk saya. Haha… Gimana pimpinan nggak berang? But it is me! Saya berani kok menolak dan ini bukan sekali dua. Tapi kembali, akhirnya nalar saya genap lagi, saya melihat niat baik pimpinan dan kewajiban saya mematuhi pimpinan dalam kebaikan. Sayapun minta maaf juga. Namun harapan pimpinan atas penunjukan saya, menjadi beban tersendiri. Meskipun jujur, saya sih nothing to lose. Saya nggak minat kok. Tapi yaaa tetap saja, saya lumayan stres. Bukan karena akan ikut kompetisi tapi kesal karena penolakan saya tidak digubris. Sebel! Saya nangis. Hasilnya? Yaaaa gitu deh! Haha.. yang penting saya melaksanakan tugas. Saya adalah tipe orang penuh tanggung jawab, setidaksuka apapun saya dengan tugas yang saya pegang, jika sudah ditunjuk, saya berusaha semaksimal mungkin menjaganya.

Pernah saya berkonflik dengan pimpinan sebelumnya karena saya satu-satunya bawahan yang berani menolak menandatangani penerimaan insentif. Penolakan saya beralasan, sebab ketika saya tanya insentif untuk apa? Sang asisten bendahara yang ditugasi hanya bilang “sudah tandatangani saja”. Oh tidak, saya tidak mau menandatangani hal yang tidak jelas apalagi kaitannya dengan uang. Penolakan saya membuat bendahara turun tangan dan memberikan penjelasan yang tetap tidak bisa saya terima. Bahwa insentif yang akan saya terima sebagai bentuk apresiasi atas kinerja saya walau saya bukan tim atau panitia dalam kegiatan tersebut. Loh saya bukan panitia. Padahal, dalam judul lembar penerimaan jelas tertulis “insentif kepanitiaan”. Saya tetap menolak dan tahu tidaaaak pimpinan marah setelah mendengar laporan bendahara sekait sikap saya. Pimpinan bilang, kalau saya tidak mau menerima maka ia pun menolak menerima insentif juga. Diiih ya seterah. Meski kurang respek dengan sikap saya yang ‘kaku’ hubungan kami tetap baik kok.

Kembali ke episode kompetisi. Nah pas kompetisi saya ketemu rekan yang cuek banget. Ia ditunjuk juga oleh pimpinannya. Kecuekannya beralasan, pimpinannya mengatakan yang penting hadir saja. Akhirnya dia hanya ikut tes tulis saja setelah itu kabur. Ketika saya dan yang lain membawa seabreg portofolio, dia mah gak bawa apa-apa karena niatnya hanya mengisi daftar hadir sebagai bukti dia sudah mengikuti kompetisi. Hadjuuh. Nikmat banget hidup. Hehe

Seringnya si sensi susah sekali menolak permintaan orang lain. Kayaknya merasa bersalah banget kalau menolak. Bagi si sensi lebih baik ia yang menahan kecewa daripada orang lain yang harus menanggungnya. Seolah kebahagiaan orang lain menjadi tanggung jawabnya. Nggak sehat ini mah.

Konflik

Siapa sih yang tidak pernah berkonflik dalam hidupnya? Bagi si sensi, akan lebih cepat merasa dan menyadari telah terjadi konflik dalam hubungannya dengan orang lain. Terutama ketika tiba-tiba menurutnya… Komunikasi mandeg. Wew, pikiran buruk menghampiri. Ada apakah gerangan? What is wrong with meeee??? Lagi-lagi, mereka tambah sensi dan kesal bingit ketika orang lain menganggap itu no problemo, no big problem. Huhu… Rasanya pengen lempar apa saja yang penting kesalnya hilang.

Toleransi

Bagi si sensi segala sesuatu menjadi sangat penting untuk dipikirkan. Menjadi begitu mengganggu dan merusak mood-nya. Si sensi memiliki toleransi yang rendah terhadap sesuatu yang too much, over, berlebihan atau yang aneh. Misalnya saja bau duren, parfum menyengat yang bagi sebagian orang nikmat, baginya adalah musibah. Bau wewangian itu bisa merusak konsentrasi dan mood-nya. Mengacaukan pikirannya bahkan sampai frustrasi. Saya nih, kalau ada durian di rumah pemberian dari orang yang gak tahu kita antiduren, saya suruh tuh durian enyah dari lingkungan rumah. Biar steril. Begitu juga kalau bau parfum yang wanginya kelewatan. Saya kok tetiba pusing dan kacau.

Kegagalan pribadi

Si sensi akut lebih rentan terhadap perenungan dan keraguan diri. Mereka mungkin mengingat cukup lama jika mereka melakukan kesalahan yang memalukan dan malunya itu melebihi malunya orang kebanyakan. Mereka tidak suka diawasi dan dievaluasi ketika mencoba melakukan sesuatu yang menantang sebab bisa mengacaukan konsentrasi dan itu memicu stres. Mereka adalah kelompok perfeksionis. Heuheu. Saya cukup perfeksionis tapi lumayan waras dan masih memijak bumi. Masih bisa ngaji kekurangan diri dan kelebihan orang lain. So, saya mencoba maksimal tetapi ketika itu menyangkut kerja tim, ya nggak bisa juga memaksakan kehendak sendiri. Yang penting prosesnya, hasilnya seterah deh. Kini saya lebih wise dalam hal ini. Cieeee

Saya dan kalian yang disebut sensi oleh orang sekitar kita mungkin memang memiliki kecemasan yang lebih eksistensial, tetapi kita adalah pribadi yang mudah berempati, bersyukur atas apa yang kita miliki. Mungkin kita hanya perlu membuat jarak dengan segala pemicu stres si sensi. Belajar mengatakan tidak, menghindari pembawa energi negatif, menata ruangan agar lebih nyaman adalah beberapa cara yang bisa ditempuh.

Sekali waktu perlu juga kita menantang diri kita untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan musuh sensi. Kita tantang terangnya lampu, hiruk-pikuknya massa, hektiknya waktu dan konflik. Tempatkan sensi pada tempatnya! Wkwkwkwk

 

 

Bagaimana Internet Mengajarkan Seks Pada Remaja

Seseorang mendatangi ruangan saya. Mengisahkan seorang remaja putri kelas 7 telah kecanduan pornografi. Diserahkannya sebuah buku tulis kepada saya. Saya masih belum paham apa maksudnya hingga ia meminta saya untuk membuka dan membaca isinya.

Saya tersentak dan refleks menutup buku tersebut. Syok dan beristighfar. Ya Tuhan benarkah ini yang menuliskannya seorang anak lulusan SD? Segera saya mencoba menguasai diri. Kembali saya membaca tulisan itu. Baris demi baris.

Sungguh tinggi imajinasi remaja puteri ini akan kehidupan seks bebas. Dengan dialog dan penggambaran situasi yang detil. Luar biasa. Saya merinding membayangkan sudah sejauh mana ia menyelami seksualitas.

Saya coba menepis pikiran buruk yang singgah. Mencoba berpikir lebih jernih, mungkin si remaja puteri ini hanya menyalin dari novel dewasa yang dibacanya. Sebab beberapa rekan yang hobi membaca novel online melalui aplikasi wattpad menyatakan banyak yang ceritanya cukup vulgar.

Melalui anamnesis, diketahui latar belakang remaja puteri tersebut bahwa ia sering menonton video porno di youtube sejak kelas 4 SD. Kurang pengawasan dari orang tua. Bahkan ketika dikonfirmasi, orang tua sangat terkejut. Menurutnya ia tidak jarang mengecek isi gawai puterinya. Namun anak sekarang lebih pandai dalam mengakali orang dewasa. Mereka menyembunyikan beberapa file rahasia di gawainya. Ternyata juga sang anak mengenal lingkungan kehidupan malam.

Tak hanya itu, kini para anak dan remaja dengan bebasnya memosting status vulgar di whatsapp, mengirim gambar dan video tak senonoh ke wag. Tak kenal putera atau puteri, di gawai mereka tersimpan meme, foto bahkan video porno. 

Konten-konten negatif di internet sungguh tak terbendung. Bukannya Menkominfo sudah memblokirnya? Saya tidak mengerti kenapa begitu mudahnya diakses? Saya pribadi coba memproteksi gawai dari konten-konten yang tak layak konsumsi.

Di mana peran orang tua dalam mengawasi penggunaan gawai oleh anak mereka? Sungguh miris ketika guru berusaha mendidik peserta didik dengan menahan gawai mereka yang menyimpan konten-konten amoral, justeru dimentahkan oleh sikap orang tua. Mereka bergegas berupaya menemui guru untuk mengambil gawai anaknya. Mengapa? Karena mereka tidak tahan dengan rengekan anaknya. Betapa anak zaman sekarang tak bisa lepas dari ketergantungan gawai yang sayangnya loss kontrol dari orang tua.

Berapa persen dari mereka yang benar-benar memanfaatkan internet untuk hal yang positif? Kebanyakan adalah memilih bermain game, menonton youtube, bersosial media dan kesenangan-kesenangan lainnya.

Sungguh tak sedikit remaja kita sudah terpapar pornografi. Bukan hanya konsumen pasif bahkan pelaku aktif.

Simple Man dan Saya

img_20190907_154903

Beberapa hari ke belakang sebelum akhirnya saya mendapatkan link kisah horor tentang KKN di Desa Penari, saya mendengar bahwa kisah tersebut tengah viral di dunia maya. Meski demikian, saya belum begitu tertarik untuk menelusuri detil kisahnya, terlebih kisah horor atau mistis. Saya termasuk dari sedikit golongan yang mungkin bisa dikatakan ‘lola’ dalam merespons segala informasi yang booming atau viral. Haha… Iya, serius.

Hanya secara kebetulan, kemarin saya menemukan link tersebut di wag. Barulah rasa penasaran, sebenarnya bukan juga. Hanya ingin tahu saja, apa sih yang membuat cerita tersebut menjadi trending topic beberapa hari ini?

Pagi setelah selesai ritual shubuh, saya coba buka link-nya. Saya melihat di sana tertulis nama ‘simple man’ sebagai penuturnya, dengan poto profil lelaki bule dewasa berkepala separuh botak di bagian atas dengan sisa-sisa rambut di bagian samping kanan-kirinya. Kacamata bening dikenakannya. Menurut saya, cukup mewakili  namanya.

Saya membaca cerita yang ditulisnya sambil mempersiapkan dan mengerjakan ini-itu. Sebuah rutinitas pagi sebelum berangkat kerja. Diawali dengan alasan penulis menuturkan kisah dan memilih nama samaran untuk tokoh dan tempat kejadian. Pemilihan nama “Desa Penari” sungguh sangat menggelitik rasa penasaran.

Paragraf demi paragraf telah terbaca. Saya semakin terhanyut dengan gaya bertutur penulis. Seolah sungguh nyata, saya benar-benar merasakan dan menyaksikan situasi yang dikisahkan. Bahkan saat ke kamar mandi untuk mandi pun saya membawa gawai untuk melanjutkan membaca kisahnya. Wkwkwk… Asli. Segitunya banget yak! Sampai sepanjang perjalanan ke tempat kerja pun, saya masih terus membacanya. Saya tak ingin kisahnya terputus. Saya ingin menuntaskannya.

Jujur, saya justeru terkagum-kagum dengan cara bagaimana penulis menuturkan kisah dengan begitu detil suasana, ekspresi, jiwa dari setiap adegan yang disuguhkan. Bukan suatu hal yang mudah untuk membawa jiwa pembaca masuk dalam sebuah kisah yang hanya dituangkan dalam sebuah tulisan, tanpa audio visual.

Saya dapat merasakan gelapnya malam yang menakutkan, tatapan penari yang membuat merinding, membayangkan sebuah kidung yang menyimpan aroma mistis hingga amisnya lendir dan darah monyet yang dalam penglihatan mata kasar sebagai sajian kue kampung. Saya juga dapat merasakan ketika motor yang dikendarai Wahyu dan Widya mogok di tengah hutan nan mulai gelap. Ketika Widya terseok penuh ketakutan bercampur penasaran mengikuti Bimo tengah malam.

Terlepas dari benar tidaknya kisah yang dituturkan, saya mengagumi kemampuan Simple Man sebagai penuturnya yang mampu menghipnotis pembaca (saya) ketika membacanya. Benar-benar terbawa suasana. Entah mungkin bagi pembaca yang lain.

Sepertinya, akan ada produser yang menggandengnya dan menjadikan kisahnya untuk divisualkan dalam sebuah tampilan film layar lebar.

Refund

Kamis, 15 Agustus kemarin ada sms masuk ke nomor ponsel saya. Isinya menyampaikan bahwa refund pembatalan tiket kereta api sekira 1,5 bulan lalu, gagal transfer tanpa menjelaskan penyebabnya. Kabar baiknya, di sana tercantum nomor layanan yang bisa dihubungi yakni (021)121. Sebenarnya jujur, saya lupa soal dana refund itu.

Kilas balik ke 1,5 bulan sebelumnya tepatnya di hari Kamis, 4 Juli saya melakukan pembatalan pembelian 1 dari 3 tiket kereta api. Proses pembatalan lancar tidak ada kendala. Pihak yang membatalkan memang harus hadir langsung, bisa diwakilkan hanya jika dilengkapi surat kuasa pembatal. Pembatal dimintai kartu identitas, mengisi form pembatalan dan membayar biaya pembatalan sebesar 25% dari harga tiket yang dapat dipotong langsung dari harga tiket yang sudah dibeli.

Ada dua pilihan untuk refund ini, transfer atau diambil langsung ke loket stasiun yang sudah ditentukan. Berhubung saya tidak mau ribet, saya minta refund ditransfer saja. Saya serahkan kartu identitas dan no. rekening. Setelah pengisian form pembatalan selesai, petugas menyampaikan bahwa refund dapat diambil 30 hari ke depan jika diambil secara tunai dan 45 hari jika melalui transfer.

Setelah menerima sms gagal transfer, saya mencoba menghubungi nomor yang tercantum. Alhamdulillah tersambung meski kudu sabar karena banyak nomor extensionnya.  Saya coba jelaskan permasalahannya soal gagal transfer dan form pembatalan yang hilang (saya abaikan form ini karena memang kesepakatannya adalah refund melalui transfer). Operator menanyakan kode booking. Haduuuh ya nggak apal lah. Musti tutup telepon dulu dan mengecek riwayat pemesanan di hp yang saya pakai untuk menelepon dia. (Saya pesan tiket melalui aplikasi t*a***ok*). Begini nih kalau menelepon operator belum siap data. Siap2 saja mengulang keluhannya karena ketika menelepon ulang seringnya tersambung dengan operator lain. Saya tak patah semangat. Setelah mencatat kode booking, kembali saya hubungi operator dan benar saja saya harus mengulang kronologinya.

Setelah saya menyampaikan kode booking, di seberang sana operator langsung mengecek dan menyampaikan bahwa kode booking tersebut tidak terbaca. What? Mulai esmosi. Tapi saya salut, operator masih sabar. Ia kemudian coba mengganti angka 1 yang saya sebutkan dengab huruf I (menurutnya barangkali saya salah lihat), hasilnya sama zonk!

Nah pas nelepon operator, untungnya saya dengar sebuah email yang bisa dikontak. Saya coba menyampaikan keluhan dengan kronologinya. Tidak terlalu lama menunggu, email balasan pun datang. Bahwa gagal transfer bisa terjadi karena ada ketidaksesuaian data dan lain-lain. Untuk itu bisa dilakukan by cash dengan syarat membawa bukti form pembatalan yang asli.

Dengan kasus kehilangan form, saya diminta mengurus surat kehilangan ke kepolisian dengan bermaterai. Saya menolak. Setelah itu tidak ada respons lagi. Tak surut langkah, saat bersamaan saya coba mencari halaman PT KAI di facebook. Alhamdulillah ketemu. Kembali saya sampaikan kronologi masalahnya melalui messenger. Saya juga lampirkan bukti booking tiketnya. Ternyata solusi yang ditawarkan sama bahwa untuk mendapatkan refund, saya harus mengurus surat keterangan kehilangan dari kepolisian.

Kembali saya tanya, kenapa bisa gagal transfer? Setelah ditelusuri, yang bersangkutan menyampaikan ada perbedaan 1 huruf pada nama saya di form pembatalan dan nama di rekening bank. Saya balik bertanya, kok bisa? Padahal saat pengisian form pembatalan saya serahkan kartu identitas. Yang bersangkutan tetap meminta saya untuk mengurus surat keterangan kehilangan jika ingin mendapatkan refund. Saya tegas menolak sebab kesalahan bukan di pihak saya, melainkan di pihak PT KAI terlepas dari hilang atau tidaknya form pembatalan karena dari awal, saya minta untuk ditransfer (artinya form tersebut bisa diabaikan keberadaannya). Kesalahan petugas saat itu adalah kenapa bisa salah menuliskan nama saya? Maka saya minta kebijakan lain yang berkeadilan.

Saya minta agar PT KAI mentransfer ulang refund saya. Akhirnya bersambung keesokan harinya. Pagi, saat saya buka hp ada notifikasi di messenger saya dan ikon PT KAI nongol di pojok kanan atas layar hp saya. Sebuah pesan masuk dan menanyakan kapan bisa mengambil refund dan di stasiun mana agar railmin (istilah mereka) bisa mengatur dan mengondisikan waktunya. Saya minta dijadwalkan hari itu juga. Kembali saya diingatkan untuk membawa bukti form pembatalan yang asli dan jika hilang, saya diharuskan membawa  surat keterangan kehilangan.  Dalam hati saya ngedumel. Bolak-balik, persolannya ke situ lagi. Saya sampaikan tidak bisa hari itu saya ambil refund jika harus membawa surat keterangan kehilangan. Ribet! Saya tegaskan demikan.  Saya ingatkan lagi bahwa kesalahan ada di pihak pegawai PT KAI yang mengisi form pembatalan. Kenapa saya yang harus menanggung akibatnya?

Akhirnya, saya diminta untuk mengirimkan cover buku tabungan. Tak berselang lama, saya dapat sms dari petugas loket stasiun yang menyatakan bahwa refund akan ditransfer ulang hari itu juga. Saya diminta memgirimkan foto kartu identitas untuk dikirim ke sebuah no. wa. Selanjutnya petugas loket akan menginformasikan kembali bila refund sudah ditransfer.

Tunggu menunggu hingga sore menjelang malam, tak ada tanda-tanda dan informasi transfer refund. Pagi-pagi saat saya buka wa, ada notifikasi dari loket stasiun bahwa refund sudah berhasil ditransfer. Saya lihat kiriman foto bukti transfer dan melihat waktu transfernya sekira jam 8 malam.

Finally setelah usaha keras dan adu argumen, refund saya terima. Bukan soal nominalnya yang cuma 240 ribu tapi lebih kepada mempertahankan hak dan meyakinkan diri bahwa saya tidak perlu menanggung akibat dari kesalahan pihak lain.

Terima kasih PT KAI, terutama admin messenger yang merespons baik dan tidak mengabaikan begitu saja keluhan pengguna jasa PT KAI hingga permasalahan tuntas.

Orang Tua Bermental Miskin

Dunia pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih menjadi PR terbesar bagi pemerintah. Berbagai upaya yang dilakukan untuk peningkatan mutu melalui bongkar pasang dan tambal sulam kurikulum, sertifikasi pendidik profesional hingga kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tak sedikit demi terwujudnya program wajib belajar 12 tahun yang digagas Presiden SBY kala itu dan baru terealisasi saat pemerintahan Joko Widodo karena program wajib belajar 9 tahun dirasa belum tuntas ketika SBY menjabat.

Semua upaya tersebut, nyatanya memang belum cukup mumpuni mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia. Vietnam sebagai Negara miskin mampu melampaui. Sertifikasi guru tak memberikan banyak dampak positif. Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan pun belum signifikan. Entah di mana masalahnya, mungkin ada pada mental masing-masing pribadi pendidik. Dana BOS tentu menjadi angin segar bagi lembaga pendidikan dan orang tua peserta didik. Melalui program ini, orang tua merasa terbantu sebab tidak lagi dibebani biaya pendidikan seperti iuran bulanan atau tagihan biaya gedung. Tak hanya sekolah pemerintah/negeri, swasta pun mendapat kucuran dana. Semua itu semata-mata demi pemerataan pendidikan bagi warga negara Indonesia sehingga tidak ada lagi anak yang putus sekolah.

SBY pun memenuhi janji kampanye lainnya yakni memberikan bantuan bagi masyarakat miskin. Melalui program RASKIN (beras bagi si miskin) yang meski bau apek namun tetap diharapkan dan disyukuri dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang meskipun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, cukup membahagiakan bagi penerimanya. Walau dapatnya dirapel per 3 bulan sehingga terasa besar nilai nominalnya. Mirisnya, kadang uang BLT yang diterima malah dibelikan barang-barang kebutuhan sekunder. Kini BLT hilang seiring lengsernya SBY berganti kartu-kartu sakti.

Tak hanya BLT dan BOS, SBY juga membuka kran bantuan khusus bagi peserta didik dari keluarga kurang mampu untuk mengajukan beasiswa. Lahirlah kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) melalui jalur Gakin (Keluarga Miskin) yang kemudian diplesetkan menjadi Keluarga Gak miskin dan beasiswa PKH (Program Keluarga Harapan). Kiranya SBY sangat memerhatikan dan memahami kebutuhan rakyatnya. Sayangnya, jalur Gakin ini banyak disalahgunakan oleh banyak oknum. Jalur ini dimanfaatkan oleh para orang tua yang yang tidak yakin putera/inya diterima sekolah tujuan melalui jalur akademik. Solusinya, mereka mengambil jalur Gakin yang lebih besar peluangnya untuk diterima. Pembohongan dilanjutkan dengan membuat SKTM (surat Keterangan Tidak Mampu) yang tentunya sudah kongkalikong dengan aparan desa/kelurahan setempat. Padahal jika dilihat realitasnya, mereka merupakan keluarga mampu dan berada.

Sekira dua minggu yang lalu, muncul berita bahwa para penerima program PKH di Pati, Jawa Tengah ketahuan berbohong sekait kondisi ekonominya. Para petugas menempel spanduk kecil di setiap rumah penerima bantuan. Tak hanya itu, petugas juga meminta pemilik rumah untuk difoto bersama. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan malu bagi mereka yang selama ini memanipulasi data. Sungguh disayangkan perilaku para orang tua tersebut. Program PKH tentunya sangat mulia namun menjadi sangat merugikan jika tidak tepat sasaran. Setelah aksi petugas survey tersebut, beberapa keluarga penerima PKH akhirnya malu sendiri dan mengundurkan diri. Selama ini kalian memakan jatah orang yang memang benar-benar membutuhkan. Nggak malu ya?

Sekait bantuan pemerintah, berita yang kini tengah mengemuka adalah adanya formulir isian SKTM (Surat Keterangaj Tidak Mampu) milik seorang warga pengaju program KIS (Kartu Indonesia Sehat) di daerah Gunungkidul Yogyakarta. Pernyataan bahwa pengaju memang miskin dan siap dikutuk Tuhan jika pernyataan yang dibuat tidak sesuai kenyataan. Tentunya ditandatangani di atas materai. Miris memang, kemiskinan yang seharusnya disembunyikan namun kini harus diekspose bahkan dijadikan sarana pembohongan publik bagi sebagian orang demi mencapai apa yang diinginkan. Di satu sisi, tampak kejam dan amat menyakitkan redaksi surat pernyataan tersebut terutama bagi mereka yang memang benar miskin. Patut disayangkan. Seolah kemiskinan memang menjadikan sesorang rela diperlakukan apa saja bahkan ditakut-takuti dengan kutukan Tuhan. Coba kalau kaya, nggak perlu menandatangi surat yang isinya kutukan. Di sisi lain, mungkin pihak pemerintah desa sudah jengah dengan perilaku masyarakat yang ngaku-ngaku miskin padahal mampu. Umumnya kan redaksi pernyataan dilengkapi dengab kalimat “bila data yang saya berikan tidak sesuai, saya siap menerima konsekuensinya. Hmmm aya-aya wae.

Ucapan adalah doa. Bagaimana jika Tuhan mengabulkan ucapanmu? Engkau jatuh miskin?