Orang Tua Bermental Miskin

Dunia pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih menjadi PR terbesar bagi pemerintah. Berbagai upaya yang dilakukan untuk peningkatan mutu melalui bongkar pasang dan tambal sulam kurikulum, sertifikasi pendidik profesional hingga kucuran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tak sedikit demi terwujudnya program wajib belajar 12 tahun yang digagas Presiden SBY kala itu dan baru terealisasi saat pemerintahan Joko Widodo karena program wajib belajar 9 tahun dirasa belum tuntas ketika SBY menjabat.

Semua upaya tersebut, nyatanya memang belum cukup mumpuni mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia. Vietnam sebagai Negara miskin mampu melampaui. Sertifikasi guru tak memberikan banyak dampak positif. Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan pun belum signifikan. Entah di mana masalahnya, mungkin ada pada mental masing-masing pribadi pendidik. Dana BOS tentu menjadi angin segar bagi lembaga pendidikan dan orang tua peserta didik. Melalui program ini, orang tua merasa terbantu sebab tidak lagi dibebani biaya pendidikan seperti iuran bulanan atau tagihan biaya gedung. Tak hanya sekolah pemerintah/negeri, swasta pun mendapat kucuran dana. Semua itu semata-mata demi pemerataan pendidikan bagi warga negara Indonesia sehingga tidak ada lagi anak yang putus sekolah.

SBY pun memenuhi janji kampanye lainnya yakni memberikan bantuan bagi masyarakat miskin. Melalui program RASKIN (beras bagi si miskin) yang meski bau apek namun tetap diharapkan dan disyukuri dan BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang meskipun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, cukup membahagiakan bagi penerimanya. Walau dapatnya dirapel per 3 bulan sehingga terasa besar nilai nominalnya. Mirisnya, kadang uang BLT yang diterima malah dibelikan barang-barang kebutuhan sekunder. Kini BLT hilang seiring lengsernya SBY berganti kartu-kartu sakti.

Tak hanya BLT dan BOS, SBY juga membuka kran bantuan khusus bagi peserta didik dari keluarga kurang mampu untuk mengajukan beasiswa. Lahirlah kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) melalui jalur Gakin (Keluarga Miskin) yang kemudian diplesetkan menjadi Keluarga Gak miskin dan beasiswa PKH (Program Keluarga Harapan). Kiranya SBY sangat memerhatikan dan memahami kebutuhan rakyatnya. Sayangnya, jalur Gakin ini banyak disalahgunakan oleh banyak oknum. Jalur ini dimanfaatkan oleh para orang tua yang yang tidak yakin putera/inya diterima sekolah tujuan melalui jalur akademik. Solusinya, mereka mengambil jalur Gakin yang lebih besar peluangnya untuk diterima. Pembohongan dilanjutkan dengan membuat SKTM (surat Keterangan Tidak Mampu) yang tentunya sudah kongkalikong dengan aparan desa/kelurahan setempat. Padahal jika dilihat realitasnya, mereka merupakan keluarga mampu dan berada.

Sekira dua minggu yang lalu, muncul berita bahwa para penerima program PKH di Pati, Jawa Tengah ketahuan berbohong sekait kondisi ekonominya. Para petugas menempel spanduk kecil di setiap rumah penerima bantuan. Tak hanya itu, petugas juga meminta pemilik rumah untuk difoto bersama. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera dan malu bagi mereka yang selama ini memanipulasi data. Sungguh disayangkan perilaku para orang tua tersebut. Program PKH tentunya sangat mulia namun menjadi sangat merugikan jika tidak tepat sasaran. Setelah aksi petugas survey tersebut, beberapa keluarga penerima PKH akhirnya malu sendiri dan mengundurkan diri. Selama ini kalian memakan jatah orang yang memang benar-benar membutuhkan. Nggak malu ya?

Sekait bantuan pemerintah, berita yang kini tengah mengemuka adalah adanya formulir isian SKTM (Surat Keterangaj Tidak Mampu) milik seorang warga pengaju program KIS (Kartu Indonesia Sehat) di daerah Gunungkidul Yogyakarta. Pernyataan bahwa pengaju memang miskin dan siap dikutuk Tuhan jika pernyataan yang dibuat tidak sesuai kenyataan. Tentunya ditandatangani di atas materai. Miris memang, kemiskinan yang seharusnya disembunyikan namun kini harus diekspose bahkan dijadikan sarana pembohongan publik bagi sebagian orang demi mencapai apa yang diinginkan. Di satu sisi, tampak kejam dan amat menyakitkan redaksi surat pernyataan tersebut terutama bagi mereka yang memang benar miskin. Patut disayangkan. Seolah kemiskinan memang menjadikan sesorang rela diperlakukan apa saja bahkan ditakut-takuti dengan kutukan Tuhan. Coba kalau kaya, nggak perlu menandatangi surat yang isinya kutukan. Di sisi lain, mungkin pihak pemerintah desa sudah jengah dengan perilaku masyarakat yang ngaku-ngaku miskin padahal mampu. Umumnya kan redaksi pernyataan dilengkapi dengab kalimat “bila data yang saya berikan tidak sesuai, saya siap menerima konsekuensinya. Hmmm aya-aya wae.

Ucapan adalah doa. Bagaimana jika Tuhan mengabulkan ucapanmu? Engkau jatuh miskin?Β 

Diterbitkan oleh Isti

simple, introvert, cuek, praktis, ransel, getuk lindri, hujan, hening, sendal jepit, sepatu teplek, membaca, menulis

Tinggalkan komentar