Kebencian Hanum

IMG_20191013_104330

Penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang Banten beberapa hari yang lalu memunculkan beragam komentar warganet di media sosial. Selain ungkapan prihatin atas apa yang terjadi , yang umum disampaikan bila terjadi musibah, komentar nyinyirpun berseliweran di medsos. Ini tentu aneh. Masyarakat yang sakit ataukah situasi yang memang sudah sedemikian rusak sehingga mengikis habis empati sosial.

Lagi-lagi Hanum Rais, seorang puteri Amin Rais penggagas Reformasi yang keduanya selalu menyerang pemerintahan Jokowi dengan serta merta mecuitkan sinisme atas apa yang terjadi pada Wiranto. Dalam cuitannya menyatakan bahwa sudah dapat diduga penusukan Wiranto adalah bagian dari settingan. Respons secepat kilat ketika dia dengan amarah ‘seorang ibu’ dan ‘seorang dokter’ mengabarkan pengeroyokan brutal atas Ratna Sarumpaet yang notabene satu pilihan politik dengannya sebagai intimidasi dari lawan politiknya. Dengan yakin seyakin cuitannya kali ini.

Ia akhirnya malu sendiri ketika ‘analisa ilmu kedokterannya’ dimentahkan oleh pengakuan kebohongan oleh Ratna Sarumpaet sendiri. Meski Hanum tetap berkilah untuk menutupi rasa malunya.

Sepertinya Hanum tak belajar dari masalah sebelumnya. Hanum selalu saja tergesa-gesa menyimpulkan sebuah peristiwa. Setergesa ia menghapus cuitannya. Meski ia tahu bahwa jejak digital merekam semuanya. ‘kehapus’ sebuah apologi amatir dari seorang Hanum yang katanya intelek.

Boleh jadi Hanum memang pintar secara akademik. Namun emosinya sangat tidak stabil. Kecerdasan emosinya memprihatinkan. Ia begitu reaktif dalam menanggapi masalah yang bersebrangan dengan pilihan dan pandangan politiknya. Kebencian Hanum begitu menguasi hati dan pikirannya, sehingga akal sehatnya tenggelam. Jemarinya lebih atraktif dari otaknya untuk segera melepaskan letupan emosi dan narasi negatif.

Hanum tak selayaknya seorang perempuan dan ibu yang dekat dengan empati. Dulu, ketika ia dalam cuitannya mengaku begitu terluka hati dan sisi kemanusiaannya atas apa yang menimpa Ratna Sarumpaet, sejatinya bukan sebuah empati namun sebuah provokasi untuk menggiring dan membangun opini publik menyerang lawan politiknya.

Publik termasuk Hanum mungkin sudah terlalu muak dengan segala drama para pejabat publik. Hingga empati terkikis bahkan musibah atas mereka disyukuri. Namun, khusus untuk Hanum sebagai bagian dari pejabat publik, drama Anda juga memuakkan. Empati (terselubung kebencian akut) hanya berlaku untuk kawan politik Anda.

Ketika musibah itu menimpa diri Anda dan orang yang kau cintai, disebut sebagai settingan Anda mungkin akan menyebut mereka tidak waras. Maka bercerminlah. Jikapun kebencianmu telah mencapai ubun-ubun, tahanlah. Jika memang apa yang menimpa Wiranto sebagai sebuah settingan, setidaknya tunjukkan bahwa dirimu itu cerdas dengan tak memberikan opini yang akhirnya kau hapus sendiri namun kau masih berkilah ‘kehapus’. Dan segitulah kwalitas seorang Hanum yang katanya intelek.

 

Diterbitkan oleh Isti

simple, introvert, cuek, praktis, ransel, getuk lindri, hujan, hening, sendal jepit, sepatu teplek, membaca, menulis

Tinggalkan komentar