Pernahkah kamu mendengar orang lain mengataimu “terlalu sensi”, bahasa gaul sekarang “baper” atau beda makna yak? padahal sebelumnya mereka mengenal kita sebagai orang sebaliknya? Rasanya gimanaaaa gitu. Mikir jadinya, apa iya aku jadi baper dan sesensitif itu?
Bagaimana sih orang sensitif itu?
Orang sensitif biasanya memiliki kepekaan dan empati lebih dibanding orang lain. Memiliki sensitifitas pemrosesan terhadap sensorik. Kesannya kan jelek banget yak kalau dibilang baper atau sensi. Memang biasanya mereka ini mudah tersinggung atau bereaksi berlebihan terhadap stressor di kehidupan sehari-hari. Tapi sebenarnya tidak selalu negatif juga. Salah satu contohnya ya empati itu tadi.
Seberapa sensitifnya kamu?
Pasangan psikolog Elaine dan Arthur Aron menemukan sekitar 15-20% orang-orang yang memiliki sensitifitas tinggi. Artinya, populasi ini tidak bisa dikatakan sedikit. Lalu, memangnya masalah ya dengan angka tersebut? Untuk itu kita lihat dulu apa saja yang ada dalam diri si sensi ini.
Sebelumnya, saya mengikrarkan diri kalau saya cenderung sensi juga tapi normal laaaah. Bukan sensi negatif sih, tapi lebih ke peka dan mudah berempati.
Saya dan kamu yang memiliki sensitifitas tinggi umumnya ditandai dengan ciri sebagai berikut nih…
Nggak tahan berisik, lampu terang, dan pakaian yang nggak nyaman (saya bingit);
Merasa perlu menghindari film kekerasan atau acara tv karena merasa terlalu intens dan membuat nggak tenang/nyaman;
Merasa memerlukan down time/rehat bukan hanya sebagai waktu jeda tetapi sebagai kebutuhan. Membutuhkan ruang yang gelap dan sunyi. Huffttt;
Mudah tersentuh keindahan baik diekspresikan lewat seni atau semangat kemanusiaan. Bahkan iklan aja bisa menyentuh banget atau dikritisi mendalam. Hahaaaa.. ini saya banget!;
Memiliki kehidupan batin yang kaya dan kompleks, pemikiran yang mendalam bahkan kadang yang orang lain tidak memikirkannya. Terlalu futuristic. Hihi
Lalu, laluuuu… Kenapa si sensi ini rentan stres?
Iya laaah. Gimana gak stres ketika si sensi harus sekamar dengan orang yang gak bisa tidur dengan lampu padam? Belajar bareng dengan orang yang gak bisa nggak harus diiringi musik. Dibawa ke keramaian yang membuatnya merasa terpenjara dalam kebisingan? Ini contoh kecil saja yang jujur, saya alami. Makanya kalau ada acara bareng dan harus nginep, saya selalu bawa penutup mata. Meski tetep kadang gak bisa tidur juga karena yang lain suka ngobrol sampai tengah malam. Dududu… Stresssss! Sampai saya harus mengeluarkan teori; “teman-teman, tidur itu sebaiknya dalam keadaan gelap, biar otak istirahat. Blablabla…” Dan seringnya sih berhasil. Hahaaa. Apakah komunitas lampu terang yang berbalik menjadi stres? Hihi kayaknya nggak deh.. penikmat lampu terang sepertinya lebih fleksibel dan menikmati hidup. Hehe
Dalam berinteraksipun, orang sensi ini lebih banyak mengalami stres sosial. Si sensi dengan pikirannya yang mendalam lebih terbebani ketika dihadapkan dalam sebuah konflik. Terlebih ketika orang lain merasa bahwa itu bukan konflik berarti. Dan ia akan memikirkannya terus-menerus. Menyebalkan bukan? Makanya jangan terlalu sensi…
Selain itu, ada beberapa hal pemicu yang membuat si sensi mudah terpapar stres. Padahal bagi orang lain mah enggak.
Jadwal yang padat
Dalam pekerjaan, saya diserahi beberapa tanggung jawab. Seringkali juga ditunjuk sebagai ini-itu. Entahlah! Mungkin saya orangnya mauan dan nggak bisa menolak. Jadi kerjaan saya seabreg. Selain itu, saya juga terlibat dalam komunitas sosial di luar pekerjaan yang cukup menguras tenaga dan waktu. Kadang merasa lelah dan pengen mundur. Itupun sudah saya sampaikan kepada pimpinan dan forum komunitas, namun ditolak mentah-mentah guyssss!
Hmmm. Bagi sebagian orang, mungkin sangat menikmati berada dalam ritme kesibukan yang padat. Tidak demikian bagi si sensi. Ia akan merasa terjebak, kewalahan dan tertekan. Akhirnya stres deeeeh. Kerja nggak maksimal. Beberapa tugas mungkin terbengkalai karena tidak terbiasa multitasking.
Harapan orang lain
Baru-baru ini saya pernah berkonflik dengan pimpinan karena saya menolak diajukan dalam kompetisi prestasi.
Pimpinan memanggil saya dan meminta maaf jika penunjukkannya tidak bisa ditolak bahkan berkeras dengan mengatakan “ini saya yang menunjuk!” (Lo harus patuh pada perintah pimpinan-makna tersiratnya begitu). Menurutnya, ia ingin potensi saya dilihat orang, dikembangkan. Bukan semata-mata asal menunjuk. Jujur, sebelum pimpinan mengatakan hal inipun, saya memahami maksud penunjukan tersebut. Hanya ego saya mengatakan, “kenapa harus saya, bukankah ada orang lain yang lebih relevan? Ego saya yang lain mengatakan dan saya sampaikan langsung ke pimpinan; saya tidak berminat untuk mengikuti segala bentuk publikasi dan kompetisi terbuka. Sebesar apapun reward-nya. Itu saya sampaikan bukan hanya ke pimpinan namun juga ke pengawas yang diminta pimpinan membujuk saya. Haha… Gimana pimpinan nggak berang? But it is me! Saya berani kok menolak dan ini bukan sekali dua. Tapi kembali, akhirnya nalar saya genap lagi, saya melihat niat baik pimpinan dan kewajiban saya mematuhi pimpinan dalam kebaikan. Sayapun minta maaf juga. Namun harapan pimpinan atas penunjukan saya, menjadi beban tersendiri. Meskipun jujur, saya sih nothing to lose. Saya nggak minat kok. Tapi yaaa tetap saja, saya lumayan stres. Bukan karena akan ikut kompetisi tapi kesal karena penolakan saya tidak digubris. Sebel! Saya nangis. Hasilnya? Yaaaa gitu deh! Haha.. yang penting saya melaksanakan tugas. Saya adalah tipe orang penuh tanggung jawab, setidaksuka apapun saya dengan tugas yang saya pegang, jika sudah ditunjuk, saya berusaha semaksimal mungkin menjaganya.
Pernah saya berkonflik dengan pimpinan sebelumnya karena saya satu-satunya bawahan yang berani menolak menandatangani penerimaan insentif. Penolakan saya beralasan, sebab ketika saya tanya insentif untuk apa? Sang asisten bendahara yang ditugasi hanya bilang “sudah tandatangani saja”. Oh tidak, saya tidak mau menandatangani hal yang tidak jelas apalagi kaitannya dengan uang. Penolakan saya membuat bendahara turun tangan dan memberikan penjelasan yang tetap tidak bisa saya terima. Bahwa insentif yang akan saya terima sebagai bentuk apresiasi atas kinerja saya walau saya bukan tim atau panitia dalam kegiatan tersebut. Loh saya bukan panitia. Padahal, dalam judul lembar penerimaan jelas tertulis “insentif kepanitiaan”. Saya tetap menolak dan tahu tidaaaak pimpinan marah setelah mendengar laporan bendahara sekait sikap saya. Pimpinan bilang, kalau saya tidak mau menerima maka ia pun menolak menerima insentif juga. Diiih ya seterah. Meski kurang respek dengan sikap saya yang ‘kaku’ hubungan kami tetap baik kok.
Kembali ke episode kompetisi. Nah pas kompetisi saya ketemu rekan yang cuek banget. Ia ditunjuk juga oleh pimpinannya. Kecuekannya beralasan, pimpinannya mengatakan yang penting hadir saja. Akhirnya dia hanya ikut tes tulis saja setelah itu kabur. Ketika saya dan yang lain membawa seabreg portofolio, dia mah gak bawa apa-apa karena niatnya hanya mengisi daftar hadir sebagai bukti dia sudah mengikuti kompetisi. Hadjuuh. Nikmat banget hidup. Hehe
Seringnya si sensi susah sekali menolak permintaan orang lain. Kayaknya merasa bersalah banget kalau menolak. Bagi si sensi lebih baik ia yang menahan kecewa daripada orang lain yang harus menanggungnya. Seolah kebahagiaan orang lain menjadi tanggung jawabnya. Nggak sehat ini mah.
Konflik
Siapa sih yang tidak pernah berkonflik dalam hidupnya? Bagi si sensi, akan lebih cepat merasa dan menyadari telah terjadi konflik dalam hubungannya dengan orang lain. Terutama ketika tiba-tiba menurutnya… Komunikasi mandeg. Wew, pikiran buruk menghampiri. Ada apakah gerangan? What is wrong with meeee??? Lagi-lagi, mereka tambah sensi dan kesal bingit ketika orang lain menganggap itu no problemo, no big problem. Huhu… Rasanya pengen lempar apa saja yang penting kesalnya hilang.
Toleransi
Bagi si sensi segala sesuatu menjadi sangat penting untuk dipikirkan. Menjadi begitu mengganggu dan merusak mood-nya. Si sensi memiliki toleransi yang rendah terhadap sesuatu yang too much, over, berlebihan atau yang aneh. Misalnya saja bau duren, parfum menyengat yang bagi sebagian orang nikmat, baginya adalah musibah. Bau wewangian itu bisa merusak konsentrasi dan mood-nya. Mengacaukan pikirannya bahkan sampai frustrasi. Saya nih, kalau ada durian di rumah pemberian dari orang yang gak tahu kita antiduren, saya suruh tuh durian enyah dari lingkungan rumah. Biar steril. Begitu juga kalau bau parfum yang wanginya kelewatan. Saya kok tetiba pusing dan kacau.
Kegagalan pribadi
Si sensi akut lebih rentan terhadap perenungan dan keraguan diri. Mereka mungkin mengingat cukup lama jika mereka melakukan kesalahan yang memalukan dan malunya itu melebihi malunya orang kebanyakan. Mereka tidak suka diawasi dan dievaluasi ketika mencoba melakukan sesuatu yang menantang sebab bisa mengacaukan konsentrasi dan itu memicu stres. Mereka adalah kelompok perfeksionis. Heuheu. Saya cukup perfeksionis tapi lumayan waras dan masih memijak bumi. Masih bisa ngaji kekurangan diri dan kelebihan orang lain. So, saya mencoba maksimal tetapi ketika itu menyangkut kerja tim, ya nggak bisa juga memaksakan kehendak sendiri. Yang penting prosesnya, hasilnya seterah deh. Kini saya lebih wise dalam hal ini. Cieeee
Saya dan kalian yang disebut sensi oleh orang sekitar kita mungkin memang memiliki kecemasan yang lebih eksistensial, tetapi kita adalah pribadi yang mudah berempati, bersyukur atas apa yang kita miliki. Mungkin kita hanya perlu membuat jarak dengan segala pemicu stres si sensi. Belajar mengatakan tidak, menghindari pembawa energi negatif, menata ruangan agar lebih nyaman adalah beberapa cara yang bisa ditempuh.
Sekali waktu perlu juga kita menantang diri kita untuk beradaptasi dan berinteraksi dengan musuh sensi. Kita tantang terangnya lampu, hiruk-pikuknya massa, hektiknya waktu dan konflik. Tempatkan sensi pada tempatnya! Wkwkwkwk